PASURUAN – Kebijakan kontroversial dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pasuruan menggemparkan dunia pendidikan. Sebanyak 686 tenaga honorer, termasuk guru dan tenaga kependidikan, resmi diberhentikan dengan hormat pada tahun 2025.
Keputusan ini menuai protes keras dari berbagai pihak yang menilai penerapan hukumnya keliru dan merugikan dunia pendidikan.
Menindaklanjuti hal tersebut, LSM Gerakan Pemuda Peduli Pengamat Hukum (GP3H), PGRI, serta pemerhati pendidikan menggelar audiensi dengan Komisi 1 dan Komisi 4 DPRD Kabupaten Pasuruan. Pertemuan yang juga dihadiri perwakilan Dinas Pendidikan dan BKPSDM ini berlangsung di Gedung DPRD pada Senin (24/3/2025).
Koordinator audiensi, Anjar Supriyanto dari GP3H, menegaskan bahwa keputusan pemberhentian ini cacat hukum dan tidak mempertimbangkan kebutuhan tenaga pendidik di Kabupaten Pasuruan yang masih kekurangan ribuan guru.
“Jika tenaga honorer dihapus tanpa solusi jelas, siapa yang akan mengisi kekosongan di sekolah? Banyak dari mereka bekerja tanpa honor pemerintah, hanya atas dasar kepedulian terhadap pendidikan. Ini menunjukkan kegagalan pemerintah daerah dalam menangani masalah pendidikan,” tegasnya.
GP3H menyoroti bahwa kebijakan ini bertentangan dengan Pasal 31 UUD 1945 tentang hak pendidikan, UU Sisdiknas, serta Pasal 67 UU ASN Nomor 20 Tahun 2023. Selain itu, Permendikbud Nomor 63 Tahun 2022 yang mengatur partisipasi masyarakat dalam pendidikan juga seakan diabaikan.
Pemberhentian 686 tenaga honorer tidak hanya berdampak pada guru, tetapi juga tenaga operator sekolah dan staf administrasi. Kekosongan tenaga ini berpotensi mengganggu operasional sekolah dan proses belajar-mengajar.
“Seharusnya mereka mendapat apresiasi, bukan malah diberhentikan. Jika pemerintah tidak bisa menyediakan tenaga pendidik yang cukup, biarkan sekolah dan komite yang mengelola sesuai regulasi,” lanjut Anjar.
Ahmad Maulana, anggota Dewan Pendidikan, mengakui bahwa kebijakan ini merujuk pada edaran Kemenpan RB terkait larangan pengangkatan tenaga honorer. Namun, ia menekankan pentingnya mempertimbangkan keberlanjutan pendidikan di Kabupaten Pasuruan.
Audiensi ini belum menghasilkan keputusan final. DPRD dan GP3H mendesak pemerintah daerah untuk meninjau ulang kebijakan tersebut sebelum menimbulkan dampak yang lebih besar.
Kini, semua mata tertuju pada Pemkab Pasuruan. Apakah mereka akan tetap menjalankan kebijakan ini atau mendengar aspirasi masyarakat?